VISI.NEWS – Daya lenting atau kemampuan bertahan para perempuan penyandang disabilitas sebagai katup pengaman ekonomi keluarga di masa pandemi saat ini sangat rentan. Di antara penyebabnya, para perempuan penyandang disabilitas memiliki beban ganda, yakni kewajiban mengurus domestik sekaligus harus bergerak di ruang publik.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan dan Gender (PPKG) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dr. Rina Herlina Haryanti, MSi, mengungkapkan hasil penelitian tersebut kepada wartawan, Senin (22/2/2021).
“Salah satu beban kewajiban mengurus domestik adalah harus mendampingi anak dalam belajar di rumah. Apalagi pembelajaran saat ini bertumpu pada teknologi yang membutuhkan pengetahuan lebih,” jelasnya.
Mengutip hasil survei daring “Jaringan Difabel Indonesia” tahun 2020, terhadap 1.683 responden di 216 kabupaten, Dr. Rina menyatakan, 80,9 persen penyandang disabilitas terkena dampak negatif pandemi Covid-19.
Dampak tersebut, di antaranya sebanyak 86 persen penyandang disabilitas di sektor informal mengalami penurunan pendapatan sebesar antara 50-80 persen.
Rentannya daya lenting para perempuan penyandang disabilitas sebagai katup pengaman ekonomi, antara lain karena kondisi para penyandang disabilitas, baik individu maupun keluarga secara umum berada di tingkat ekonomi dan pendidikan rendah.
Selain itu, Dr. Rina menyebut, para perempuan penyandang disabilitas juga mengalami “triple discrimination” dan stigma, yaitu stigma sebagai perempuan, stigma sebagai seorang difabel, dan stigma sebagai perempuan miskin
“Rata-rata perempuan penyandang disabilitas berstatus masyarakat miskin, seperti perempuan pada umumnya. Mereka juga harus mengatur keuangan, bagaimana agar di rumah bisa makan. Di sisi lain, mereka juga harus turut menunjang pemasukan keluarga, dia harus keluar bekerja, bergerak, dan berinteraksi,” ujar Dr. Rina.
Kondisi yang mengharuskan perempuan penyandang disabilitas berinteraksi di luar rumah dan bermobilitas tinggi, sambung peneliti PPKG, membuat mereka rentan terpapar Covid-19. Terlebih, katanya, beragamnya disabilitas yang cukup banyak, membuat para perempuan penyandang disabilitas butuh tidak hanya protokol kesehatan 3M atau 5M.
setiap penyandang disabilitas membutuhkan cara pencegahan Covid-19 yang berbeda, misalnya, difabel yang menggunakan alat bantu tongkat untuk tunanetra dan kursi roda perlu mendapat perlakuan khusus, seperti penyemprotan disinfektan.
Perempuan tunawicara dan tunarungu yang bekerja dengan berjualan, lanjutnya, dalam komunikasi dengan pelanggan nondifabel mengalami kesulitan karena harus mengenakan masker.
“Padahal, biasanya mereka memahami pembicaraan dengan tulis-menulis atau bicara pelan. Tapi di saat pandemi mereka pakai masker. Kondisi itu membuat tulis menulis lebih ribet sehingga pelanggan memilih beralih ke penjual lain,” tutur Dr. Rina
Dalam kondisi para perempuan penyandang disabilitas tersebut dengan penghasilan menurun, mereka juga banyak yang terjebak pinjaman rentenir. Tawaran para rentenir yang menarik dengan proses mudah, pada akhirnya menjerat para perempuan penyandang disabilitas yang dalam kondisi terpuruk.
“Mereka butuh perhatian dari banyak pihak. Dari masyarakat, komunitas, dan dari negara. Di saat pandemi, para perempuan penyandang disabilitas yang mampu bertahan patut diapresiasi,” pungkas peneliti UNS itu. @tok