VISI.NEWS — Masalah penundaan penandatanganan Naskah Kesepakatan KUPA dan PPAS 2020, Senin Kemarin (7/9/2020), dikatakan Pengamat Politik dari Universitas Nurtanio, H. Djamu Kertabudi, sebagai bentuk miss interfretasi antara kedua belah pihak. Hal ini sangat menarik sekaligus ganjil, tentang alasan penundaan rapat paripurna tersebut dengan waktu yang tidak bisa ditentukan.
Disebutkan Djamu, secara normatif penundaan rapat paripurna bisa dilakukan bila dalam pelaksanaannya tidak memenuhi kuorum, yang artinya anggota dewan tidak hadir atau kurang dari jumlah minimal seperti yang diharuskan.
“Satu pihak Pimpinan DPRD menyatakan bahwa pembahasan KUPA dan PPAS, antara Badan Anggaran DPRD dan TAPD dianggap telah selesai. Serta telah terjadi kesepakatan kedua pihak, untuk selanjutnya, penandatangan Naskah Kesepakatan KUPA dan PPAS 2020 antara Bupati Bandung dan DPRD yang diwakili Pimpinan DPRD dalam forum Rapat Paripurna dapat dilakukan,” katanya via telepon, Selasa (8/9/2020).
Sementara Fraksi Nasdem, PKB dan Demokrat, lanjutnya, yang sebelumnya telah berkirim surat kepada Pimpinan dewan, mengenai permohonan penundaan jadwal waktu pembahasan KUPA & PPAS 2020, dengan alasan dianggap pembahasan masalah itu belum tuntas.
Kenyataan ini, dijelaskan Djamu, tentu membuat publik turut prihatin. Karena dewan secara tak langsung tindakan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Terlebih lagi terbentuk tiga kubu, yaitu Fraksi PDI Perjuangan dan PAN besikap abstain. Fraksi NasDem, PKB, Demokrat, dan PKB menolak. Sedangkan Fraksi Golkar dan Gerindra setuju untuk dilanjutkan.
Dia memaparkan, tiga kubu ini persis sama dengan konsfigurasi kekuatan politik pengusungan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati Bandung, yang masing-masing koalisi partai telah mendaftarkan diri ke KPU sebelumnya. Dengan kata lain, institusi DPRD dalam konteks sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah dalam memenuhi kewajibannya menjalankan fungsi penganggaran, telah dipengaruhi oleh perseteruan politik Pilkada 2020.
Kejadian ini, menurutnya, saat pembahasan RAPBDP 2020 antara Badan Anggaran DPRD dengan Tim Anggaran Pemda Kabupaten Bandung menjadi stagnan. Dan dikwatirkan penyelesaian selanjutnya dilakukan melalui bargaining politik yang menimbulkan ekses yang sepatutnya harus dihindari.
Djamu membahas terkait hak prerogratif eksekutif, semua itu tergantung hasil akhir dari Dewan. Sebab secara normatif bahwa pada prinsipnya APBD-P tidak harus ada setiap tahun. Namun untuk APBD-P 2020 wajib ada. Karena ada nuansa pertanggungjawaban, sebagai kebijakan pusat dimana Kepala Daerah memiliki wewenang refocusing atau pergeseran anggaran pada DPA tanpa melibat dewan terlebih dahulu, sebagai akselerasi penanggulangan Covid 19.
“Apabila dewan secara resmi menolak pembahasan RAPBD-P ini maka Bupati Bandung menyampaikan laporan secara komprehensif kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat sekaligus menyampaikan Raperda RAPBD-P beserta Rancangan Peraturan Bupati untuk mendapatkan evaluasi,” ujarnya.
Karena hal tersebut, dutegaskannya, merujuk pada wewenang diskresi yg diatur berdasarkan UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP No.12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. @qia