SKETSA | Benturan Peradaban (VI)

Silahkan bagikan

Oleh Syakieb Sungkar

ZONA 3 – Terdiri atas Irak dan Iran. Pertentangan kedua negara tersebut terjadi ketika Sadam Husein dengan jail menyerang Iran yang sedang sibuk mengurus Revolusi yang menumbangkan Reza Pahlavi. Sikap politik yang ambigu dan tidak konsisten terhadap kedua negara tersebut, menandai kebijakan yang berubah-ubah seiring dengan pergantian Presiden Amerika. Di zaman Presiden Carter, Iran bermasalah dengan Amerika karena telah menyandera 52 orang staf Kedubes Amerika pada tahun 1979. Tentu saja serangan Irak ke Iran pada tahun 1980 disukai oleh Amerika, dan dikabarkan Irak mendapatkan dukungan senjata Kimia dari negara itu. Sikap yang sebaliknya terjadi ketika Irak menyerang Kuwait 10 tahun kemudian. Perubahan sikap yang serupa terjadi kepada Iran: kalau di zaman Carter, Iran dimusuhi – maka di zaman Reagen terjadi penjualan senjata ke Iran yang disebut skandal Iran – Contra (1985).

Baca juga

SKETSA | Benturan Peradaban (V)
SKETSA | Benturan Peradaban (IV)
SKETSA | Benturan Peradaban (III)
SKETSA | Benturan Peradaban (II)
SKETSA | Benturan Peradaban (I)
SKETSA | Blois
SKETSA | Ukraina
SKETSA | WAG
SKETSA | Facebook

Zona 4 – Negeri-negeri pada zona ini letaknya di sebelah Utara dari Arab Saudi, yaitu negeri-negeri yang mengelilingi Israel: Mesir, Palestina, Jordania, Suriah dan Lebanon. Dari semua negeri itu, hanya Jordania yang paling jinak karena secara tradisional Jordania tidak terlalu serius mengurusi perjuangan Palestina, walaupun di negerinya itu tempat pejuang PLO bersarang. Hal itu ada hubungannya dengan sejarah pendiri Jordania seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya dari paper ini. Sementara negeri-negeri lainnya pada zona 4 yang di luar Jordania, terus menerus didera ketidakstabilan politik dan penuh dengan campur tangan politik Amerika. Hal itu bisa terjadi karena Amerika (dan Israel) tidak menginginkan adanya persatuan pada negera-negara tetangga Israel tersebut. Kemajuan ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, persatuan nasional, persenjataan, dan perdamaian di Lebanon, Mesir, Palestina dan Suriah akan membuat negara-negara ini menjadi maju dan pada akhirnya akan mengeroyok Israel di suatu saat.

Sementara negara-negara Islam lainnya di luar ke 4 zona tersebut, seperti negara-negara Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya) sebenarnya secara geografis tidak terlalu mengkhawatirkan Amerika karena letaknya yang jauh dari Israel. Terjadinya penumbangan Muammar Khadafi di Libya lebih disebabkan oleh ulah Khadafi sendiri yang “bermulut besar” dan suka mencampuri urusan Palestina. Demikian pula konflik Amerika di Afghanistan, bukan disebabkan karena kepentingan minyak dan melindungi Israel, tetapi karena didorong oleh seorang anggota kongres Amerika asal Texas yang bernama Charlie Wilson. Dialah yang mendorong Amerika turut campur membantu Mujahidin melawan Rusia yang masuk ke Afghanistan pada tahun 1979. Rusia akhirnya meninggalkan Afghanistan pada tahun 1989, namun hal itu tidak membuat negeri itu beres. Perang saudara antar Panglima terus berlangsung, sampai akhirnya muncul Taliban di tahun 1994 yang didukung Pakistan dan Arab Saudi. Setelah peristiwa 9/11 di tahun 2001, Amerika mulai menyerang Taliban karena dianggap telah menyembunyikan Osama bin Laden.

Baca Juga :  Lawan Persis Solo, Persib Kembali Pakai Jersey Utama

Dari Mengamankan Minyak ke Islamphobia

Dari uraian di atas terlihat bahwa terjadi pergeseran tujuan mengapa Amerika berada di Timur Tengah. Menurut hemat saya, telah terjadi perubahan kepentingan dari semula Amerika ingin melindungi suplai minyak ke negaranya kemudian bergeser menjadi memusuhi Islam radikal. Hal itu telah menyebabkan musuh Amerika menjadi bertambah luas dan banyak. Sehingga pengelihatan Amerika menjadi paralaks: demi mencari satu orang pemimpin teroris, Amerika bersedia untuk mengebom suatu negara. Di mana upaya itu telah menjadikan Amerika menjadi Islamphobia dan berstatus negara kriminal, yang telah mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa melalui bombardir udara. Effort yang luar biasa besar ini telah membuat ekonomi Amerika bangkrut dan rakyatnya tidak lagi sejahtera.

Noam Chomsky mempertanyakan Siapa sebetulnya teroris, Amerika atau pejuang Hamas? Dalam konteks Bush, misalnya, Chomsky juga mempertanyakan, siapa yang teroris, Osama bin Laden atau Bush atau Blair (PM Inggris). Dari perspektif ini, definisi terorisme itu sendiri menjadi bias. Presiden AS, George W. Bush, dalam sebuah pidatonya pernah menyatakan bahwa perang terhadap terorisme merupakan bentuk dari Perang Salib (Crusade) pertama abad 21. Dasar-dasar kebijakan politik yang disampaikan oleh Bush sebagai respon terhadap peristiwa 9/11 adalah menyeret pelaku terorisme untuk segera dapat diadili. Bagi Bush, 9/11 merupakan sebuah deklarasi perang yang dilakukan oleh musuh-musuh kebebasan terhadap Amerika. Bush mendeklarasikan War Against Terorism.

Terlihat isu terorisme yang dihubungkan dengan Islam merupakan salah satu agenda perang terhadap dunia Muslim. Fuad Fanani memandang isu terorisme ini sendiri merupakan suatu bentuk pembenaran dari teori Clash of Civilization yang sangat dipengaruhi oleh hubungan Barat dan Islam, yang telah dibahas sebelumnya. Umat Islam digambarkan sebagai pelaku terorisme sementara Amerika dan sekutunya selalu digambarkan sebagai pahlawan yang melawan terorisme. Sebagaimana frame yang dikembangkan melalui media informasi. Media Barat pasca tragedi 9/11 memiliki peran aktif dalam dalam membentuk dan mengembangkan persepsi terkait Islam dan terorisme.

Kritik Atas Benturan Huntington

Peradaban biasanya didefinisikan sebagai suatu masyarakat manusia yang organisasi sosialnya sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mempunyai pandangan hidup untuk membentuk suatu masyarakat atau negara harmonis yang sejahtera, berbudaya dan berkembang maju. Setelah tamat membaca buku Huntington yang tebalnya 653 halaman itu, terbersit pertanyaan apa yang dimaksud dengan “Peradaban” menurut Huntington. Nampaknya Huntington lebih menitikberatkan peradaban sebagai kekuatan (power) ketimbang sebagai suatu ciri masyarakat manusia yang mempunyai kesamaan etnis, budaya, bahasa, agama, dan pandangan hidup. Hal itu dapat dilihat ketika ia menilai Afrika bukanlah sebagai peradaban, peradaban Amerika Latin derajatnya lebih rendah dari peradaban Barat, peradaban Rusia bukanlah peradaban Barat. Hal yang sama terjadi ketika ia memasukkan Indonesia ke dalam negara-negara yang terpisahkan oleh garis persinggungan sivilisasional, setara dengan Sri Lanka dan Ethiopia, yang rawan terpecah karena adanya dua peradaban berbeda: Islam dan Kristen. Huntington juga tidak memperhatikan secara antropologis faktor-faktor apa saja yang membentuk suatu peradaban. Hal itu terlihat ketika ia memasukkan Korea sebagai bagian dari peradaban Cina ketimbang Jepang. Bagaimanapun, Cina – Korea – Jepang merupakan bagian dari peradaban yang sama. Namun Huntington memisahkan Jepang dengan Cina sebagai peradaban yang terpisah, bukan karena etnitas atau budaya, melainkan karena kekuatan atau powernya.

Baca Juga :  MTQ V KORPRI NASIONAL: Tujuh Orang Kafilah Jabar Masuk Babak Final

Huntington melihat sebuah peradaban sebagai tatanan yang solid dan seragam, tanpa ada suatu perbedaan atau variasi yang beragam. Karenanya ia akan heran kalau melihat ada suatu negara seperti Indonesia yang mempunyai begitu banyak perbedaan, begitu banyak variasi dalam berbahasa, berkesenian, berpakaian, bercocok tanam, makanan, dan agama, namun dapat hidup secara damai tanpa suatu konflik yang berarti. Ia melihat suatu peradaban secara simplistis, secara taksonomi, dunia yang begitu luas berisi 7,8 milyar manusia – oleh Huntington dapat diklasifikasikan secara sederhana dengan 7 jenis peradaban. Huntington sangat bernafsu dalam memandang manusia dengan melakukan identifikasi. Manusia dengan mudah diidentifikasi Huntington sebagai bagian dari peradaban yang mana, manusia oleh Hntington akan dikategorikan menjadi salah satu anggota dari peradaban yang tujuh itu. Suatu cara pandang yang sudah ditinggalkan oleh para pemikir post modernis, di mana manusia sudah tidak sepantasnya lagi diidentifikasi sebagai ini atau itu, manusia tidak saatnya lagi dikategorisasikan sebagai bagian dari jenis ini atau jenis itu. Karena cara melihat manusia dengan cara identifikasi seperti itu akan menghilangkan karakter dari si manusia itu sendiri. Melihat dunia menjadi 7 peradaban, seharusnya ditolak sama sekali dalam pemikiran manapun.

Hal yang menonjol dari Huntington dalam mendikotomi peradaban Islam dan Barat adalah semangat Perang Salib yang terus terasa dalam memilah geografi dan menggali sejarah mengapa perbedaan itu ada. Dengan itu Islam diidentifikasi Huntington sebagai musuh Barat, yaitu Eropa dan Amerika. Tidak ada jalan untuk melihat Islam sebagai bagian dari “kita”, tetapi agama itu dipandang sebagai yang berbeda, yang bukan kita, karenanya harus dihindari, dan pada akhirnya dimusuhi. Sebuah stigma Perang Salib yang berlangsung sejak 10 abad yang lalu. Hal itu terlihat ketika ia menyebut peningkatan jumlah migran ke Eropa sebagai kecenderungan ke arah karakter “non-Eropa” sebagai bagian dari “produk” dekolonisasi. Sebagai hasilnya, orang-orang Barat merasa khawatir bahwa mereka kini sedang diinvasi bukan oleh pasukan perang ataupun tank-tank, tetapi oleh kaum migran yang berbicara dengan bahasa yang berbeda, memuja tuhan yang berbeda, memiliki kebudayaan mereka sendiri dan dikhawatirkan akan merebut pekerjaan mereka, mendiami tanah mereka, meninggalkan sistem kesejaheraan, dan menindas pandangan hidup mereka, serta kekhawatiran akan hilangnya identitas nasional. Pada awal 1990-an, dua pertiga migran Eropa adalah Muslim. Dan dalam hubungan dengan orang-orang Eropa, hanya sedikit menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah “orang Eropa”. Itulah ketakutan yang melanda seluruh Eropa. Sikap yang tidak bersahabat dari masyarakat Eropa benar-benar aneh. Sedikit sekali orang Perancis merasa khawatir terhadap serangan dari Timur – orang-orang Polandia yang bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang Eropa dan Katholik. Dan sebagian besar kaum imigran Afrika non-Arab tidak menimbulkan kekhawatiran ataupun kebencian bagi mereka. Sikap tidak bersahabat hanya ditujukan kepada umat Islam. Kata imigre sinonim dengan Islam, yang kini menjadi agama terbesar kedua di Perancis, dan merefleksikan sebuah rasisme kultural dan etnis yang telah berakar secara mendalam dalam sejarah Perancis.

Baca Juga :  Ace Hasan: Perubahan Iklim Jadi Ancaman Nyata bagi Manusia

Penyebab adanya konflik peradaban digambarkan Huntington sebagai, “garis persinggungan perang berjalan melalui proses-proses intensifikasi, ekspansi, resistensi, interupsi, dan kadang-kadang resolusi”. Benturan bagi Huntington dianggap sebagai yang alamiah terjadi karena adanya perbedaan pada ketujuh peradaban tersebut. Ia menutup mata bahwa biang keladi konflik antara Barat dengan Islam adalah kerakusan Amerika untuk menguasai minyak di Timur Tengah dan kekerasan hati Amerika untuk terus-menerus melindungi Israel yang menjadi musuh ideologis bangsa Arab. Sehingga upaya melindungi suplai minyak itu kemudian berubah menjadi Islamphobia, dengan menjadikan Islam sebagai musuh Barat dan sumber terorisme.

Ternyata Edward Said juga ikut-ikutan mengkritik Huntington, apa saja kritiknya? Kita lanjutkan besok… ***

  • Penulis adalah seorang pengamat seni, dan pernah menjadi executive di beberapa perusahaan telekomunikasi. Ia pernah kuliah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), lulus dari Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020). Dan pernah membuat buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018) dan “Seni Sebagai Pembebasan” (2022). Pernah berpameran tunggal lukisan di galeri Titik Dua, Ubud (2021), berpameran bersama di galeri Salihara bersama Goenawan Mohamad (2020). Saat ini ia menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi – jurnaldekonstruksi.id

M Purnama Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Habis Ziarah di Sunan Ampel, Peziarah Depresi Ambil Alih Kemudi Bus

Ming Mar 6 , 2022
Silahkan bagikanVISI.NEWS | SURABAYA – Burniat, penumpang bus atau peziarah yang diduga depresi menjadi penyebab utama kecelakaan maut di Tol Dupak Surabaya, yang menewaskan dua orang dan juga dirinya sendiri. Berdasarkan informasi yang dihimpun polisi, Burniat mulai menunjukkan gelagat tidak wajar yang diduga depresi usai berziarah di Makam Sunan Ampel […]